Hari Jumat Agung memiliki makna yang sangat istimewa dalam tradisi Kristen. Secara umum, orang Kristen tidak biasanya beribadah pada hari Jumat; hari ibadah utama dan persekutuan biasa diadakan pada hari Minggu, yang merupakan hari pertama dalam seminggu, bukan hari Jumat. Namun, ketika anak-anak bertanya mengapa hari Jumat Agung berbeda dari hari Jumat biasanya, jawabannya sederhana dan mendalam: pada hari Jumat Agung, Yesus Kristus wafat di kayu salib sebagai penebus dosa manusia. Inilah sebabnya Jumat Agung menjadi hari yang sangat istimewa.
Dalam catatan Matius dan Lukas, ada beberapa hal luar biasa yang terjadi pada hari itu. Lukas, khususnya, mencatat tiga peristiwa ajaib yang membuat Jumat Agung berbeda dari hari Jumat lainnya. Pertama, selama tiga jam terjadi kegelapan meliputi seluruh wilayah. Kedua, tirai Bait Suci terbelah dua. Ketiga, seorang kepala pasukan penyaliban mengakui di depan umum bahwa Yesus adalah orang benar. Fokus tulisan ini adalah pada ketiga keajaiban tersebut.
Mari kita telaah yang pertama: kegelapan selama tiga jam dari pukul 12 siang hingga 3 sore. Ini bukan kegelapan biasa yang disebabkan oleh gerhana matahari, karena perayaan Paskah Yahudi selalu bertepatan dengan bulan purnama. Gerhana matahari total hanya mungkin terjadi saat bulan baru, sehingga fenomena tersebut tidak dapat menjelaskan kegelapan itu. Dengan demikian, kegelapan yang terjadi adalah sesuatu yang luar biasa dan bukan gejala alam biasa.
Kita bisa mengambil pelajaran dari kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian, di mana pada awalnya bumi berada dalam gelap gulita sebelum Allah menciptakan terang. Terang yang Allah ciptakan pada hari pertama bukan hanya sekadar cahaya fisik, melainkan juga simbol karya dan kehadiran Allah sendiri. Meski Allah telah menciptakan matahari, bulan, dan bintang sebagai penerang di langit pada hari keempat, kegelapan tetap ada sebagai lambang kejahatan dan dosa yang belum sepenuhnya dihilangkan. Terang sejati hanyalah Yesus Kristus, yang membawa terang dan hidup kepada dunia.
Kegelapan pada Jumat Agung menyimbolkan bahwa dunia kembali ke keadaan tanpa kehadiran Allah, yaitu sebuah dunia yang penuh kegelapan spiritual akibat dosa manusia. Kegelapan ini berlangsung selama tiga jam, menandakan bahwa kejahatan yang ada hanya bersifat sementara dan akan digantikan oleh terang pada hari kebangkitan Yesus.
Keajaiban kedua adalah terbelahnya tirai Bait Suci. Tirai ini memisahkan ruang suci dari ruang maha suci di Bait Allah. Meskipun Alkitab tidak secara eksplisit menyebutkan tirai mana yang terbelah, makna yang paling tepat adalah tirai yang memisahkan ruang umum dengan ruang suci. Terbelahnya tirai ini melambangkan bahwa dengan kematian Yesus, akses kepada Allah tidak lagi terbatas hanya kepada imam-imam atau tempat ibadah tertentu. Allah tidak lagi terkurung dalam gedung Bait Allah, melainkan membuka jalan bagi semua orang untuk berelasi langsung dengan-Nya di mana saja.
Ini juga menegaskan bahwa menyembah Allah tidak hanya dilakukan di dalam gedung gereja saja, tetapi juga melalui perbuatan kasih dan pelayanan kepada sesama di kehidupan sehari-hari.
Keajaiban ketiga adalah pengakuan terbuka yang diungkapkan oleh kepala pasukan penyaliban yang non-Yahudi. Dia dengan jujur mengakui bahwa Yesus adalah orang benar. Hal ini menunjukkan bahwa kuasa Allah dapat menggerakkan hati siapa saja tanpa memandang latar belakang dan status sosial. Pengakuan itu juga menandakan kesadaran akan kesalahan yang diperbuat dan kejujuran dalam mengakuinya di depan umum.
Lukas menulis tentang ketiga peristiwa ini bukan hanya sebagai catatan sejarah, tetapi sebagai dorongan agar peringatan Jumat Agung yang kita rayakan saat ini juga menjadi momen yang penuh makna dan keajaiban dalam kehidupan kita.
Dengan demikian, Jumat Agung bukan hanya sekadar mengenang kematian Yesus, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan makna terang sejati, akses yang terbuka kepada Allah, dan sikap rendah hati dalam mengakui kebenaran di dalam kehidupan sehari-hari.


